Justt My (un)Humble Opinion

Jumat, 15 April 2011

 

 

KRONOLOGI KASUS MULYANA VERSI BPK

Detikcom- Jakarta, kasus penangkapananggota KPU Mulyana W Kusuma memunculkan kontroversi di BPK. Ketua BPK Anwar Nasution sempat marah-marah dan bersuara sinis, meski setelah banyak tekanan dari masyarakat ia melunak. Bagaimana kronologis kasus Mulyana versus BPK. Berikut penjelasan ketua BPK Anwar Nasution dalam siaran pers yang dibagikan kepada wartawan usai rapat konsultasi dengan Presiden SBY di Istana Kepresidenan, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Rabu (20/4/2005). Audit pengelolaan dan pertanggungjawaban dana operasional pemilu tahun 2004 dilakukan BPK atas permintaan ketua DPR Akbar Tandjung. Permintaan dilayangkan Akbar sejak bulan juni 2004 kepada ketua BPK saat itu SB Judono. Audit langsung dipimpin oleh Djapitan Nainggolan, sedangkan Khairiansyah Salman bertugas memimpin sub tim pemeriksaan investigative pengadaan dan distribusi kotak suara. Tim audit KPU berada di bawah pengawasan auditor utama III Harijanto sebagai penanggung jawab. Sedangkan supervisi berada di bawah Angbintama III Hasan Bisri. Konsep pelaporan audit BPK disampaikan dalam sidang BPK tanggal 13 Desember 2004. Audit keuangan berkaitan dengan pengadaan logistic pemilu yang mendapat perhatian masyarakat. Yakni kotak suara, surat suara, amplop suara, tinta dan teknologi informasi. Namun badan dan ketua BPK meminta dilakukan penyempurnaan laporan. Konsep audit KPU kedua disampaikan dalam siding ketiga Maret 2004. Mutu laporan dianggap jauh lebih baik kecuali bagian teknologi informasi. Untuk itu, BPK sepakat menunda laporan hingga satu bulan. Sebulan telah berlalu, namun audit KPU tak kunjung rampung. Tim menyatakan laporan audit tidak bisa diselesaikan karena belum dibahas KPU selaku auditing. “Untuk menentukan jadwal pertemuan audit dengan KPU, ketua KPU, di gedang ke BPK pada tanggal 30 Maret 2005, “ aku Anwar. Dalam pertemuan tersebut yang berlangsung di BPK Nazarudin Sjamsudin diterima ketua BPK, wakil ketua BPK dan auditor utama III. Dalam pertemuan itu, Anwar meminta ketua KPU agar melakukan pembahasan dengan tim audit KPU agar pembahasan dilakukan besok saat Anwar berkunjung dilaporkan pertemuan audit BPK dengan KPU diadakan tanggal 5 April 2005. Dalam pertemuan tersebut BPK meminta KPU agar menyampaikan tanggapan akhir pada hari senin, 11 April 2005. Ternyata, disaat Anwar transit di Singapura, Minggu 10 April 2005, Wakil Ketua BPK Abdullah Zaini menelpon dan memberitahu Anwar perihal penangkapan Mulyana W Kusuma. Mulyana ditangkap terkait dengan rencana penyuapankepada anggota tim auditor BPK Khairiansyah Salman. Penangkapan dilaksanakan berdasarkan operasi intelijen KPK dengan auditor BPK sebagai pembantu pelaksana. Menurut versi Khairiansyah ia bekerjasama dengan KPK memerangkap upaya penyuapan oleh saudara Mulyana degnan menggunakan alat perekam gambar pada dua kali pertemuan mereka. Pertemuan pertama dilakkan di restoran Jepang di Hotel Borobudur tanggal 10 Maret 2005 sekitar pukul 1 siang. Selanjutnya pertemuan kedua dilakukan di kamar 609 di Hotel Ibis, 8 April 2005 sekitar pukul 20.00 WIB. Mulyana ditangkap ke Praha. Belakangan pada pertemuan kedua dengan jumlah uang Rp 150 juta. Anwar mengatakan saat itu BPK tidak pernah memberikan ijin. Anwar mennyakan kepada Zaini apakah BPK memberikan izin sewaktu ia tengah berada di luar negeri. Wakil ketua menjelaskan, berdasarkan pengakuan yang bersangkutan, Hasan Bisri,anbintama III yang mengetahui masalah ini dan memberikan ijin secara lisan kepada Khairiansyah.Walaupun sudah mengetahui 3 bulan lalu, yang bersangkutan tidak melaporkan kepada badan, ketua,wakil ketua, maupun anggota BPK lainnya, tim audit KPU. Setelah peristiwa tersebut, 11 April 2005 BPK menggelar sidang. Sidang berpendapat bahwa apa yang dilakukan Hasan Bisri dan Khairiansyah bukanlah mandat dan wewenang BPK. Anwar juga memberikan peringatan agar perisriwa seperti ini tidak terulang lagi. Karena bertentangan dengan semangat keterbukaan BPK. Selanjutnya BPK melakukan pemeriksaan internal. Menurut Anwar, operasi yang dilakukan KPK dengan bantuan Khairiansyah dtidak ada kontribusinya sama sekali dengan laporan audit BPK. Namun laporan audit BPK meninggalkan sejumlah pertanyaan diantaranya mengapa Khairiansyah tidak melaporkan tindakannya kepada kedua atasannya. Kenapa Khairiansyah melaporkan kepada Hasan Bisri. Apakah dia mencurigai atasannya itu. Ketiga Angbitama 3 tidak memberitahu dan minta keputusan dari badan, ketua BPK maupun wakil ketua BPK.

KOMENTAR SAYA,
Kesimpulan yang bisa dinyatakan, tindakan kedua belah pihak yakni auditor BPK maupun KPU kurangetis. Tidak etis seorang auditor melakukan komunikasi kepada pihak yang diperiksa atau pihak penerima kerja (KPU)dengan mendasarkan pada imbalan sejumlah uang sebagaimana terjadi pada kasus Mulyana W Kusumah, Sekalipun kita tahu bahwa itu dilakukan demi alasan tujuan mulya yaitu pengungkapan korupsi di KPU. Pengungkapan korupsi harus dilakukan dengan cara-cara, teknik, dan prosedur profesi yang menjaga, menjunjung, menjalankan dan mendasarkan pada etika profesi. Dari sudut pandang etika profesi, auditor tampak tidak bertanggungjawab, yaitu dengan cara penggunaan jebakan imbalan uang untuk menjalankan profesinya. Auditor juga tidak punya integritas ketika dalam benaknya sudah ada pemihakan pada salah satu pihak, yaitu KPK dengan berkesimpulan bahwa telah terjadi korupsi. Dari sisi independensi, auditor BPK yang bersangkutan sangat pantas diragukan. Hal ini terlihat dadalam teks di atas dimana bahkan ketua BPK tidak mengetahui kroologis peristiwa sampai ia diberithui oleh wakil ketua BPK. Kemudian tampak bahwa auditor BPK tidak percaya pada kemampuan professional akuntansinya. Dengan teknik dan prosedur yang juga telah diatur dalam profesi akuntan, pasti akan terungkap hal-hal negatif, termasuk dugaan korupsi kalau memang terjadi. Alih-alih menggunakan kemampuan profesionalnya, auditor BPK menggunakan cara-cara yang tidak etis yaitu menjebak

Kondisi Pelayanan Publik di Indonesia

Sholehudin Adi Nugroho
3B/ 35/08360015485
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
Berbicara mengenai pelayanan publik seolah topik yang tiada habisnya untuk dibahas. Banyak pandangan miring manakala kata pelayanan publik dibahas. Pelayanan publik sering dikaitan dengan kolot, antre lama, kotor, korup, berbelit-belit, dan petugas yang kurang ramah. Mungkin hal ini benar tetapi mungkin juga salah karena itu, kuranglah fair men-judge bahwa pelayanan publik seperti ini atau seperti itu tanpa menelisik lebih jauh dan lebih dalam mengenai apakah pelayanan publik tersebut. Pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (Wikipedia). Contoh dari pelayanan publik ini banyak sekali. Sebagai contoh pembuatan SIM, KTP, jasa listrik (PLN), PDAM, PT KAI, pelayanan pajak, pengurusan paspor,dsb. Dalam artikel ini, akan dibahas beberapa layanan publik di Indonesia untuk selanjutnya kita dapat lebih arif dan bijaksana menyikapi layanan publik di Indonesia.

Yang pertama adalah perkeretaapian di Indonesia. Perkeretaapian di Indonesia dikelola oleh PT KAI, sebagai salah satu BUMN di negeri ini. Perkeretaapian merupakan bahasan yang menarik karena akhir-akhir ini pemerintah baru saja menaikkan tiket kereta api, tetapi dalam waktu sehari pemerintah menurunkannya kembali. Ada apakah gerangan? Direktur Komersial Kereta Api, Sulistyo Wimbo Hardjito mengatakan, tarif kereta kelas ekonomi perlu dinaikkan karena sejak 2002 tidak pernah naik. Bahkan pada 2009, Kereta Api justru menurunkan tarif. Kenaikan tarif kereta ini sebelumnya sempat tertunda tiga kali pada 2010, dan awal tahun ini akan diberlakukan mulai tanggal 7 Januari 2011. Dengan kenaikan ini, PT Kereta Api berjanji meningkatkan pelayanan, di antaranya meningkatkan keamanan penumpang, menambah kipas angin, lampu, dan kebersihan stasiun. Fokus pada kata peningkatan pelayanan yang perlu disoroti adalah hal-hal apa yang telah terjadi pada perkeretaapian setahun belakangan ini. Berikut akan dibeberkan beberapa fakta kurang sedap mengenai perkeretaapian di Indonesia
1. penulis berkesempatan mencoba “menikmati” perjalanan kereta api di hari dimana terjadi kenaikan tarif yaitu Sabtu, 8 Januari 2011. Kereta ekonomi tentu saja, adapun nama stasiun dan tujuan disamarkan. Terdapat beberapa hal yang kurang menyenangkan seperti kipas baru yang dijanjikan tidak ada, Jadwal kereta yang meleset jauh yaitu tertera berangkat 15:30 tetapi faktanya kereta datang sekitar 17:30, penumpang di atap masih banyak, WC tidak digunakan sebagaimana mestinya, dan pada beberapa perjalanan tiket tidak ditanyakan. Satu hal nilai plus selama perjalanan itu adalah petugas stasiun akan menjawab dengan senang hati dan ramah ketika kita kebingungan dan bertanya mengenai tujuan dan jadwal kereta api.
2. Terdapat Bad record mengenai kecelakaan kereta api selama tahun 2010 silam. Kereta api pengangkut BBM menabrak bus antarkota antarprovinsi (AKAP) PO Lubuk Basung Jaya Transport, di Jalan Lintas Sumatra (Jalinsum) kawasan Lembayung, Kelurahan Bandar Agung, Kabupaten Lahat, Sumatra Selatan (Antara News), Kecelakaan lalu lintas kembali terjadi. Sebuah kereta api menabrak mobil Isuzu L 300 bernopol B 9825 UD di perlintasan kereta api di Stasiun Pasar Minggu, Jakarta Selatan (Detik News Jakarta), Tergulingnya KA Logawa di di Saradan-Madiun, kecelakaan di Caruban, Tabrakan antara KA Argo Bromo dan KA Senja Utama, dan terdapat beberapa kecelakaan lainnya. Tidak heran, berita yang selalu didengung-dengungkan adalah mendesak Kementerian Perhubungan dan Direksi PT KAI bekerja professional menciptakan road map to zero accident, mempersiapkan sumber daya manusia berkualitas di lingkungan PT KAI guna mencapai target zero accident yang sudah dicanangkan pemerintah.
3. Isu keamanan penumpang mencakup tidak hanya fasilitas saja(kereta, toilet,rel, dsb), tetapi juga bagaimana PT KAI mengamankan penumpangnya dari lemparan-lemparan batu yang tidak bertanggung jawab yang acapkali terjadi ketika kereta berjalan di malam hari.
4. Masih adanya calo. Hal ini penulis alami sendiri ketika akan pulang kampung saat perkuliahan diliburkan. Ketika tiket yang dimaksud habis, satpam di sebelah dengan entengnya menawarkan tiket yang kata meraka “jatah” pegawai, tentunya dengan harga yang lebih mahal.
Itulah sekilas mengenai kereta api di Indonesia, selanjutnya akan dibahas mengenai proses pembuatan KTP di Indonesia. Kartu Tanda Penduduk (KTP) adalah identitas kependudukan. Kartu ini wajib dimiliki oleh warga negara Indonesia yang berusia di atas 17 tahun atau sudah menikah. Batas pembuatannya adalah 14 hari semenjak menikah atau berusia 17 tahun dengan biaya gratis atau tanpa uang sepeserpun. Sebagai sampling kasus, terdapat beberapa fakta yang menunjukan sebaliknya dimana calon pembuat KTP dikenakan semacam charge atau bolehlah secara kasar kita sebut uang sogok bahkan semenjak tingkat RT. Tatim (48), warga Kelurahan Karawaci Baru RT 03/10 Karawaci, yang menyatakan diperas aparat kelurahan setempat, Solihin dan Undang, ketika hendak membuat KTP. Kedua oknum petugas ini meminta uang Rp 40 000 (http://bataviase.co.id/node/141296). Kelurahan Kayuputih, Pulogadung, Jakarta Timur, beberapa waktu lalu, oknum petugas kelurahan memungut uang Rp 10 ribu, pada setiap warga yang akan mengurus KTP maupun KK (kartu keluarga), di kelurahan tersebut. Kasus ini mencuat ke permukaan ketika terjadi protes warga, pungutan liar dalam pengurusan KTP di Kecamatan Tempuling, pengalaman penulis sendiri ketika mengantar teman membuat KTP di kecamatan X sebut saja begitu, ketika proses pembuatan KTP yang sedianya harus mengantri berjam-jam akibat banyaknya yang mengurus KTP dalam sesi foto cukup membayar Rp 20.000 maka akan dipercepat alias tanpa antri dan keesokan harinya KTP sudah siap di tangan. Itulah sekelumit fakta bahwa pembuatan KTP yang sedianya gratis tanpa sepeser uang pun menjadi ajang mencari sampingan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Saya pikir tidak semua instansi baik di kecamatan, atau kelurahan atau RT seperti itu tetapi paling tidak, dari beberapa instansi atau bahkan mungkin banyak instansi, mengingat hal itu sudah menjadi rahasia umum, terjadi hal yang kurang patut seperti itu.
Serupa dengan kasus pembuatan KTP adalah pembuatan SIM atau surat izin mengemudi, bahkan dalam masyarakat sampai terdapat istilah SIM nembak atau SIM yang dibuat dengan uang pelicin. Sebagai fakta, dalam proses pembuatan SIM di tahun sekitar 2008, sebut saja di Kota XYZ peserta yang ingin mendapat SIM tanpa tes cukup membayar Rp 170.000. Akhir-akhir ini penulis amati di tubuh Kepolisian terjadi perbaikan dimana pembuatan SIM nembak ini berhasil dikurangi dengan baik. Di kota XYZ tersebut pun ketika ingin mendapatkan SIM peserta benar-benar diuji kelayakannya.
Selanjutnya adalah mengenai pelayanan pajak. Masih segar dalam ingatan ketika bagaimana oknum pegawai pajak, Gayus Halomoan Tambunan dalam kasus pajak yang melibatkan “pemain-pemain kelas kakap” yang tentu saja menciderai perasaan para wajib pajak dan makin memperparah sentiment negatif masyarakat terhadap institusi perpajakan. Reformasi perpajakan memang sudah digulirkan semenjak tahun 2002 dan berdampak positif ditandai dalam berbagai barometer dan penelitian bahwa pajak bukanlah institusi terkorup dan tercapainya target penerimaan negara yang semakin meningkat, tetapi tetap Instansi perpajakan butuh usaha ekstra keras untuk bisa memperbaiki citranya.
Dari uraian-uraian di atas kondisi pelayanan publik masih sangat buruk, masih diwarnai praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) serta sarat dengan paradigma korporatisme untuk mencari keuntungan pribadi. Buruknya pelayanan publik diperparah pula oleh rendahnya partisipasi masyarakat dalam mengingatkan para pejabat publik termasuk pegawai negeri sipil (PNS) agar bekerja lebih profesional.
Lantas apakah pelayanan publik mesti diprivatisasikan saja? Sebelum menjawab pertanyaan ini patut diperbandingkan dulu antara pelayanan publik dengan pelayanan swasta. Uraian di bawah ini mencoba membandingkannya.
Karakteristik Pelayanan publik (http://ariefh.wordpress.com/2008/03/10/akuntansi-untuk-pelayanan-publik/)
1. Rentang pelayanan luas dengan biaya yang lebih murah. Dalam industry perkeretaapian di atas, sebagai contoh, murahnya tiket kereta api bengawan, Jakarta-Solo yang hanya 30.000an,
2. Distribusi yang lebih merata.
3. Kerangka hubungan pekerja dan manajemen lebih bersifat kekeluargaan dan permanen
Karakteristik Pelayanan swasta, yang juga merupakan kebalikan pelayanan Publik
1. Beberapa organisasi swasta dianggap lebih efisien dibanding organisasi sektor publik. Dari mulai net income perusahaan saja bisa terlihat bagaimana PT PLN yang melaporkan selalu rugi, PT PELNI, PT DI, PT KAI yang merugi.
2. Kekuatan pasar dan kompetisi akan meningkatkan pilihan dan mengurangi biaya pelayanan, sementara itu tuntutan pengembangan kualitas menjadi lebih besar. Kenapa TVRI cenderung stagnan adapun stasiun-stasiun TV lainnya berimprovisasi pada program-program acaranya? Itu karena mereka dituntut oleh pasar untuk berkembang.
3. Sektor dan pasar yang kompetitif lebih cepat tanggap pada pilihan konsumen dan kondisi perubahan permintaan dan penawaran
4. Pemerintah terlalu besar dan boros, sehingga pemerintah lebih baik berperan sebagai regulator.
5. Mengurangi ketergantungan pada pemerintah dengan meningkatkan partisipasi masyarakat melalui mekanisme pasar dan inisiatif individual.
Jika ukuran kesejahteraan suatu negara adalah berupa keuntungan saja, tentu saja pilihan pada pelayanan publik adalah pilihan yang buruk. Hanya kompetisi di dalam pasar yang akan menentukan pelaksanaan pelayanan publik (Rajiv Prabhakar, 2006). Sebaliknya, kelompok yang berpihak pada negara menganggap mekanisme pasar gagal untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada seluruh masyarakat karena logikanya hanya menguntungkan pemenang dari kompetisi di dalam pasar, sedangkan pihak yang kalah atau lebih lemah bukanlah persoalan bagi kaum pendukung pasar. Jadi disini adalah masalah sudut pandang yang berbeda antara golongan pro-pasar dan pro-publik.

Dampak-dampak Negatif Perusahaan Multinasional (MNC) Beserta Penanggulangannya


Sholehudin Adi Nugroho
2P/ 35 /08360015485
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara



A. Pendahuluan
Globalisasi,  Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah. Sebenarnya, globalisasi belum memiliki definisi yang pasti karena mencakup banyak aspek dan kekompleksan sifatnya, sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Sebagai bukti, ada yang menyebut globalisasi di bidang budaya atau di bidang ekonomi, atau di bidang informasi dan sebagainya. Dampak dari adanya globalisasi ini amat banyak  dan beragam. MNC atau multinational corporation atau di dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai perusahaan multinasional adalah salah satunya. Dalam perkembangannya, disamping memberikan manfaat bagi perekonomian suatu negara ternyata perusahaan multinasional juga turut berperan sebagai penghambat karena dampak negatif yang ditimbulkannya. Terlepas dari perdebatan mana yang lebih dominan, manfaat atau kerugiannya, yang pasti harus dipikirkan bersama cara-cara untuk menanggulangi dampak negative dari adanya perusahaan multinasional.

B. Perusahaan Multinasional, Definisi dan Gambaran Sekilas
Salvatore, dalam bukunya Ekonomi Internasional jilid 1, menyebutkan bahwa perusahaan multinasional ialah badan usaha yang memiliki, mengendalikan, dan atau mengelola fasilitas-fasilitas produksi yang tersebar di sejumlah negara. Dari definisi ini paling tidak bisa dibayangkan bahwa perusahaan multinasional adalah perusahaan yang berskala besar, gross profit yang luar biasa, serta melibatkan manajemen yang kompleks. Pada kenyataannya, memang secara keseluruhan perusahaan multinasional menguasai lebih dari 20 persen output dunia dan nilai transaksi perdagangannya  mencapai lebih dari 25 persen dari keseluruhan transaksi perusahaan manufaktur di dunia.  Mungkin juga bisa dikatakan bahwa perkembangan yang paling penting dalam hubungan ekonomi internasional dalam dua atau tiga dasawarsa ini adalah perusahaan multinasional dimana lonjakan  yang mengagumkan atas kekuatan dan pengaruh berhasil mereka ciptakan. Terlihat dari mendunianya produk-produk, misal, Microsoft, Honda, Toshiba, Exxon, Toyota , Sony dsb. Bahkan gross profitnya bisa melebihi PDB suatu negara. Sehingga, Indonesia sebagai salah satu negara yang berdaulat yang berusaha memakmurkan rakyatnya juga tidak bisa menutup mata terhadap adanya perusahaan multinasional ini. Dimana seringkali disini perusahaan multinasional  dihujat sebagai imperialis model baru, penghisap kekayaan alam,dsb. Tentu hal ini tidak terlepas akibat eksternalitas negative yang ditimbulkan akibat dizinkannya perusahaan multinasional beroperasi di Indonesia. Hal-hal seperti ini tidak hanya negara Indonesia saja yang mengalaminya, tetapi juga di banyak negara baik sebagai tuan rumah maupun negara asal perusahaan. Tetapi,  pelarangan perusahaan multinasional juga bukan langkah bijak yang diambil  karena disamping memiliki sisi negative perusahaan multinasional juga memiliki banyak sisi positif, belum lagi pengucilan internasional jika langkah ini diambil oleh pemerintah. Sehingga, hal yang terbaik adalah memikirkan suatu cara-cara untuk menanggulangi dan meminimalisasi dampak-dampak negative tadi.

C.Dampak Negatif Perusahaan Multinasional
Alasan utama banyaknya negara berhati-hati sebelum mengizinkan operasi suatu perusahaan multinasional di negaranya adalah dampak-dampak negatif yang mungkin ditimbulkannya. Salvatore paling tidak menyebutkan  6 dampak ini di dalam bukunya,
Terhadap negara asal
  1. Hilangnya sejumlah lapangan kerja domestik. Ini karena perusahaan multinasional mengalihkan sebagian modal dan aktivitas bisnisnya ke luar negeri.
  2. Ekspor teknologi, yang oleh sebagian pengamat, secara perlahan-lahan akan melunturkan prioritas teknologi negara asal dan pada akhirnya mengancam perekonomian negara bersangkutan.
  3. Kecenderungan praktik pengalihan harga sehingga mengurangi pemasukan perpajakan
  4. Mempengaruhi kebijakan moneter domestik.
Terhadap negara tuan rumah:
  1. Keengganan cabang perusahaan multinasional untuk mengekspor suatu produk karena negara tersebut bukan mitra dagang negara asalanya.
  2. Mempengaruhi kebijakan moneter negara yang bersangkutan.
  3. Budaya konsumsi yang dibawa perusahaan tersebut bisa mengubah budaya konsumsi konsumen local dan pada akhirnya mematikan unit-unit usaha tradisional.
Dan tentu saja dampak-dampak lainnya masih banyak mengingat masalah ini adalah masalah yang kompleks. Mulai dari politik yang mempengaruhinya, belum lagi bidang lainnya yang mempengaruhi dan dipengaruhi baik di bidang sosial, budaya, pendidikan dan sebagainya.

D.Penanggulangan Dampak negatif Perusahaan Multinasional
Perusahaan multinasional, seperti halnya perusahaan komersial lainnya akan tetap dan selalu bersifat  profit oriented. Disini akan timbul suatu masalah dalam kaitannya dengan penanggulangan dampak negative perusahaan multinasional. Program-program penanggulangan dampak negative, bisa dicontohkan asuransi kesehatan pegawai, pajak lingkungan hidup (di luar negeri), jamsostek, reservasi lingkungan, akan dianggap sebagai suatu inefisiensi karena sifat profit orientednya tadi, dimana perusahaan berusaha mencari keuntungan yang sebesar-besarnya sebagai bentuk pertanggungjawabannya terhadap shareholder. Sehingga tidak akan tercapai titik temu antara tujuan perusahaan dengan tujuan masyarakat. Disinilah pemerintah mengambil peranannya. Namun, tidak selamanya hal ini bisa dilakukan oleh pemerintah apalagi pemerintah yang korup. Demi peningkatan usaha penanggulangan dampak negatif MNC, harus dicari akar masalah dari hambatan atas penanggulangan ini. Ekonom dan peraih nobel, Joseph E stiglitz dalam bukunya Making Globalization Works (2006) mengemukan 4 dilema yang dialami perusahaan sehingga mereka sebenarnya tidak mau melakukan usaha penanggulangan dampak negatif atas aktivitas yang mereka lakukan.
  1. Sifatnya yang profit oriented, sebagaimana penjelasannya di atas.
  2. Kompetisi. Ini mengakibatkan perusahaan harus melakukan operasi seefisien mungkin dengan cara menghasilkan untung yang sebesar-besarnya dan menekan biaya dalam waktu singkat agar dapat tetap survive. Dalam kondisi seperti ini, tentu perusahaan akan menghindari segala biaya yang tidak esensial bagi operasi seperti, misalkan biaya pembangunan rumah sakit bagi warga sekitar.
  3. Kekuatan ekonomi dan politik, mengingat kekuatan peusahaan multinasional yang luar biasa secara ekonomi dan politik, perusahaan semacam ini bisa saja “membeli” negara-negara yang memang sedang membutuhkan modal dari mereka. Contohnya Freeport di Papua dan Exxon di Aceh. Dilema akan terjadi karena semakin perusahaan ini berperan dalam pembangunan sosial ekonomi semakin pembangunan ditentukan oleh praktik-praktik untuk memenuhi interest dari perusahaan tersebut. Misalnya Freeport memang membangun rumah-rumah sakit,jalan sekolah, tetapi warga sekitar tetap mengeluh. Mereka mengeluh karena kenyataannya fasilitas-fasilitas tersebut untuk melayani kepentingan pegawai dan staf perusahaan saja.
  4. Kolusi perusahaan-pemerintah. Perusahaan bisa melakukan lobi-lobi kepada para birokrat, baik daerah maupun pusat untuk membuat undang-undang yang memenuhi interest dan kebutuhan mereka. Tidak jarang biaya untuk melakukan lobi-lobi ini melebihi biaya investasi lainnya. Perusahaan perminyakan seringkali mengurangi biaya kompensasi dan konservasi alam dengan cara menyuap pejabat publik. Lagipula kebijakan tersebut adalah banyak dipengaruhi  pejabat publik dan perusahaan saja, tetapi minim partisipasi masyarakat sehingga tidak jarang mengabaikan hak-hak publik. Contoh yang bagus adalah kasus Freeport di Indonesia, “Dalam 20 tahun berikutnya, proses pemakaian tanah yang tidak transparan—dan pemindahan paksa komunitas lokal—berlanjut pada 1995, anggota-anggota masyarakat memahami untuk pertama kalinya bahwa, menurut sumber-sumber pemerintah, mereka telah menyerahkan tanah-tanah ulayat di wilayah Timika (hampir 1 juta hektar) kepada pemerintah untuk penempatan transmigrasi, termasuk kota Timika dan lokasi Freeport yang baru, Kuala Kencana.” (Aderito de Jesus Soares, jurnal LIBERTASAUN V/2005)
Dari akar masalah di atas paling tidak bisa dirumuskan 3 pendekatan dalam menanggulangi masalah di  atas sebagai  berikut:
  1. Pendekatan hukum. Dilema perusahaan akan profit oriented dapat dicegah melalui legislasi, dimana peraturan perundang-undangan yang mengikat semua pihak akan menempatkan perusahaan pada standar yang sama. Perusahaan yang berbisnis dengan standar tinggi pasti akan menyambut baik hal ini. Perusahaan yang berbisnis dengan standar tinggi, dalam menjalankan praktiknya akan memperhatikan etika berbisnis (code of conduct). Peraturan dan legislasi akan melindungi perusahaan  tersebut terhadap kompetisi yang tidak fair dari perusahaan yang tidak memenuhi standar yang sama. Pentingnya peraturan dan hukum ini, seperti dikatakan oleh stiglitz, “tanpa tekanan peraturan pemerintah dan masyarakat, korporasi enggan melindungi dampak lingkungan secara memadai. Sejatinya mereka memiliki motivasi untuk merusak lingkungan hidup jika hal tersebut dapat menyelamatkan uang mereka”
  2. Pendekatan sosial dan etika. Pendekatan lainnya untuk menjamin pertanggungjawaban publik perusahaan multinasional ialah melalui berbagai macam tekanan  sosial dan etik masyarakat. Paling tidak ada 4 kelompok yang dapat mengadakan presure antara lain, konsumen, investor, pekerja dan LSM. Menurut Wegner-Tsukamoto, kelompok ini dapat menciptakan apa yang disebut “ethical capital” yang artinya nilai yang merasuki empat kelompok tadi untuk melakukan gerakan moral secara aktif. Contoh nyatanya adalah boikot yang dilakukan Gandhi, tentu saja diikuti pengikutnya, atas perusahaan kapas kolonialis Inggris di India, kemudian boikot partai solidaritas buruh di Glasgow atas perusahaan galangan kapal. Kemudian, contoh dari LSM yang memberikan tekanan adalah yang sering didengar tentang kampanye “blood diamond” di Sierra atau “Dirty Oil” di Nigeria yang cukup efektif menarik perhatian dunia sehingga perusahaan multinasional yang bersangkutan tidak bisa seenaknya sendiri. Kasus di Indonesia yang terkenal adalah kasus Freeport di mana LSM bentukan masyarakat/ suku lokal bernama LEMASA  (Lembaga Masyaraka Adat Komoro) mengajukan gugatannya di pengadilan New Orleans, kota dimana  kantor pusat Freeport berada.
  3. Rahmad Paul,  master pada Conflict Transformation di Center for Justice and Peacebuilding Eastern Mennonite University, US menyarankan pendekatan melalui transformasi konflik. Konflik itu seperti pedang bermata dua, di satu sisi bisa menghambat tetapi jika dikelola dengan baik dapat menjadikannya sesuatu yang konstruktif. Kalau dinamika konflik dikelola secara tepat akan berdampak pada perubahan sosial yang transformative dan significant bagi kepentingan rakyat banyak. Negosiasi dan mediasi konflik merupakan cara pendekatan yang berprinsip pada nonkekerasan dan dialog untuk mengakomodasi kepentingan semua pihak yang bertikai. Para pihak yang berkonflikperlu duduk bersama dan setara di meja perundingan negosiasi guna mencari titik temu dan menjembatani perbedaan persepsi dan kepentingan dan secara bersama-sama membangun consensus yang membangun dan mengakomodasi semua pihak.
Adapun Nopirin,  Ph.D dalam bukunya ekonomi internasional jilid 3 mengungkapkan setidaknya  ada 5 cara dalam hal pengaturan  perusahaan multinasional demi penghindaran efek buruk yang mungkin terjadi:
  1. Pengaturan tentang masuknya MNC. Pengaturan meliputi penilaian tentang kemungkinan efek suatu perusahaan multinasional di masa yang akan datang terhadap politik dan ekonomi negara yang bersangkutan. Jika penilaian ini menunjukkan kemungkinan yang sangat buruk atau dengan kata lain kerugiannya lebih besar daripada keuntungannya, maka perusahaan multinasional tersebut ditolak kehadirannya.
  2. Penentuan sektor-sektor tertentu yang sudah tertutup untuk investasi asing  atau penentuan pemilikan, sehingga memberi peluang pada wiraswasta local untuk ikut melakukan kegiatan atau mengambil keputusan.
  3. Negara penerima dapat mengatur kegiatan perusahaan multinasional dengan cara membatasi bahan yang diimpor, penentuan harga produk, pengaturan tentang kredit, pemilikan serta pengaturan tentang efeknya terhadap lingkungan.
  4. Negara penerima melakukan pengaturan tentang keuntungan yang boleh dikirimkan kembali ke negara induk.
  5. Negara penerima dapat melakukan nasionalisasi perusahaan multinasional. Biasanya ini adalah tindakan terakhir yang dilakukan suatu negara dan harus dipertimbangkan secara hati-hati karena hal ini dapat melenyapkan minat investor untuk berinvestasi di masa-masa yang akan datang.
Pada kenyataannya, memang suatu negara  tidak akan membiarkan perusahaan multinasional untuk sertamerta masuk dan beroperasi di wilayahnya. Akan banyak terdapat pembatasan-pembatasan. Negara Kanada misalnya, saat ini menerapkan tingkat pajak yang lebih tinggi terhadap anak atau cabang perusahaan asing, termasuk perusahaan patungan, dengan jumlah saham yang dikuasai warga Kanada kurang dari 25%. India secara ketat membatasi sector-sektor industry yang boleh menerima penanaman modal asing secara langsung. Beberapa negara berkembang bahkan tidak memperbolehkan perusahaan yang sahamnya dikuasai 100% oleh pihak asing.

E.penutup
Perusahaan multinasional sebagai pengaruh globalisasi di abad ini tidak akan penah bisa dihindari sebab selain banyak dikecam juga tidak salah kiranya  disebutkan memberikan manfaat yang berguna bagi kesejahteraan bangsa. Yang menjadi fokus pengaturan adalah bagaimana penanggulangan terhadap efek-efek negatif yang mungkin muncul sehingga semakin memaksimalkan kesejahteraan rakyat. Penanggulangan ini bisa dilakukan dengan berbagai macam cara. Akhirnya penanggulangan ini akan memberikan pelajaran pada perusahaan multinasional, sebagaimana yang dikatakan Brata T. Hardjosubroto ( Head of Public Relation Nestle Indonesia ), “Reputasi buruk memberi dampak negatif bagi suatu perusahaan multinasional. Reputasi buruk yang diterima oleh suatu perusahaan tidak bisa mendapatkan sangsi pelanggaran hukum, tetapi mencoreng nama baik perusahaan tersebut”. Sehingga diharapkan dengan adanya penanggulangan ini, dengan sendirinya akan tercapai titik temu tentang apa yang diinginkan masyarakat dengan tujuan perusahaan

Mencoba

hai semua,
ini pertama kalinya saya membuat blog atau mungkin pertamanya menulis setelah sekian lama vakum. Mungkin terakhir nulis pas SMA ya, tak tahulah :p
Dengan kata lain saat ini sedang work in process dalam belajar menulis hehe
jadi harap maklum yak bila banyak salah-salah kata.
mohon bantuannya
sang pemula