Penjajahan, Berkah atau Kutukankah?

Jumat, 24 Agustus 2012


Frank-Alamanni dengan legiun - kavaleri  Romawi saling  memandang berhadap-hadapan dalam pertempuran Strasbourg. Kepulan debu beterbangan  menyakitkan di mata dan mereka saling menahan napas. Ketegangan menyelimuti dalam menunggu komando selanjutnya.
Hari itu nasib dua kelompok bangsa besar akan ditentukan apakah sang elang Romawi mampu melanjutkan program kolonialisasi demi kolonialisasinya atau sang bangsa di depan mata yang lainnya yang  mampu bertahan dan membinasakan musuhnya dalam perang besar ini. Pada akhir waktu  dapat terlihat bahwa ketimpangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang berbicara. Republik Romawi yang terstruktur militernya,  ada hirarki yang jelas, punya “fabricae” pabrik alat-alat perang milik negara, punya akademi-akademi militer, kesejahteraan prajurit melebihi kesejahteraan prajurit Amerika di perang dunia 1, kenyang asam garam  untuk menjajah mempecundangi mereka yang tertinggal dan proses kolonialisasi pun dimulai.

Proses itu kembali diulangi ketika setengah milenium kemudian Belanda, negeri kecil di bawah laut yang dimitoskan oleh si kolonial luasnya melebihi Indonesia, menaklukan negeri-negeri Nusantara yang beratus-ratus jumlahnya. Realistis bahwa peluru tidak mungkin dikalahkan oleh keris-keris empu walau dimitoskan keris-keris itu dapat terbang sendiri, meriam-meriam yang lajunya tak dapat tertahankan oleh barisan tameng  walau katanya dirapal mantra kyai dari arab, dan negeri-negeri nusantara itu bukanlah Indonesia. Mereka itu sekumpulan negeri yang saling berperang bahkan ada dalam satu negeri yang  berperang secara internal dan barbar. Anak membunuh bapak, saudara membunuh kepada saudaranya, ibu diperistri anaknya demi jabatan penguasa Raja. Nusantara Jatuh tapi lalu bangkit. Ekonominya bangkit  karena sumber daya mampu dimanfaatkan dengan baik oleh sang kolonialis . Stabilitas politiknya luar biasa jika dibandingkan sebelum dijajah, satu penguasa yaitu Gubermen, Gubernur Jenderal yang dipilih oleh negeri bunga tulip itu. Perang-perang saudara dan pemberontakan yang dapat ditekan karena superiornya militer kolonial jelas membuat stabilitas keamanan meningkat signifikan. Belanda memasukan kopi, tebu, cengkeh, dan sebagainya yang belum dikenal sebelumnya pada tanah subur Indonesia. Ilmu pengetahuan Eropa memberikan berkahnya pada negeri jajahan. Nusantara mengalami lompatan sipil jauh ke depan dari yang  seharusnya karena dijajah.

Cost yang dikeluarkan Belanda dalam menjajah Indonesia tidaklah kecil. Berapa nyawa sudah melayang karena hal ini, berapa gulden yang sudah diinvestasikan. Dikisahkan bahwa dalam masa pencarian “dunia baru” ini, seorang pelaut hidup dalam ketidakpastian. Jarak yang tidak menentu, keuntungan yang belum jelas, rindu keluarga di rumah, bahaya menanti di tempat tujuan dan memang akhirnya bahaya-bahaya di atas tadi benar-benar terjadi. Pelayaran bertahun-tahun tanpa hasil menemukan si “dunia baru”, hidup dalam dek-dek kapal kotor minim makanan bertahun-tahun. Badan mulai mengurus,  ada yang kakinya membusuk, gusi, gigi-gigi mulai berdarah, teman satu persatu mati dan terpaksa dijadikan makanan sendiri. Dan......., keajaiban itu datang....spicy Islands ditemukan, pulau rempah-rempah menganga di depan mata sebagai  ganjaran kerja keras berdarah-darah bangsa oranje.

Hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa Belanda mengubah negeri yang semi barbar ini mendekati sebuah nation pada abad tersebut. Belanda kehilangan banyak gulden dan nyawa, Nusantara kehilangan harga dirinya. Apakah ada yang lebih berharga daripada harga diri?. Dalam masalah hukum, rakyat Nusantara selalu menjadi kelas ketiga setelah bangsa-bangsa Eropa dan bangsa timur jauh. Hukum sebagai penguasa tertinggi pun mendiskriminasikan mereka. Dalam hal pendidikan, jangan harapkan pendidikan bermutu jikalau bukan keturunan ningrat. Tampaknya Belanda belajar betul dari pengalaman Spanyol ketika menjajah Flipina, rakyat Filipina memberontak dipimpin golongan intelektual mereka. dr Jose rizal dan kawan-kawannya membentuk organisaasi bernama Katipunan yang terstruktur dan rapi. Kalau ingin jujur, ini akibat Spanyol memberikan pendidikan Eropa yang jauh ketinggiannya kepada orang Filipina. Spanyol terusir....iya Spanyol terusir dan Filipina menjadi suatu Nation pertama di  Asia Tenggara di tahun 1800an. Bayangkan....negara terjajah yang dianggap bangsa barbar oleh penjajahnya punya Presiden sendiri!  Pendidikan itu luar biasa kekuatannya. Meski pada akhirnya akibat sandiwara perang antara Spanyol dan Amerika Serikat negara ini jatuh dalam cengkeraman Amerika. Kembali pada Indonesia, kalo diperbandingkan dengan Indonesia dengan Filipina  ada yang menarik. Vlekke dalam Bukunya “Nusantara” berkata adalah kesalahan  fatal Belanda enggan membangun perguruan-perguruan tinggi di Indonesia. Akibat politik etis, golongan terpelajar yang tidak buta huruf dari orang pribumi jumlahnya melebihi orang yang tidak buta huruf dari orang Belanda sendiri. Tentu saja dari golongan ini ada  yang melanjutkan ke perguruan tinggi dan perguruan tinggi ini tidak ada di Indonesia. Solusinya  lantas monarki Belanda pun menjadi tujuan mereka. Di belanda mereka belajar tentng apa itu “Nation”, karena dekat dengan Prancis mereka belajar pula tentang revolusi Prancis,juga  ajaran J.J Rosseau tentang persamaan, persaudaraan, dan kebebasan, singkatnya mereka melihat Eropa secara keseluruhan. Munculah golongan yang menjadi duri dalam daging kolonial, golongan nasionalis. Jangan lupakan pula tanam paksa dan Rodi. Vlekke menuliskan, kolonial menganggap bangsa Nusantara terlalu malas dan boros, lalu mereka tidak punya cukup uang untuk membayar pajak.Sebagai ganti membayar pajak, solusi logisnya adalah tanam paksa sehingga mereka tidak mengeluarkan uang dan penyakit malasnya teatasi. Namun,Tanam paksa menyeleweng dan perbudakanlah   bisa dikatakan yang terjadi. Jangan lupakan pula pembangunan Jalan Raya Anyer-Panarukan. Dalam rangka menghadapi Inggris yang ssemakin dekat, dibangunlah jalan itu untuk meningkatkan mobilisasi pasukan. Karena keadaan darurat  menurut hemat saya segala cara akan  dihalalkan. Jalan itu selesai tetapi jumlah korban-korbannya mencengangkan. Perampasan-perampasan lahan untuk pabrik gula hasil kolusi Gubermen dengan Pejabat Lokal pribumi turut mewarnai kolonialisasi. Gula pada masa itu adalah industri strategis Hindia sebagaimana industri minyak di Timur Tengah dan untuk melebarkan sayapnya penyimpangan sebagaimana disebutkan di atas terjadi. Petani kehilangan lahan-lahannya dan mereka terpaksa bekerja sebagai buruh gula dengan upah lebih rendah daripada jika bertani. Pergundikan, pelecehan-pelecehan sebagai bangsa kalah perang, ketidaksetaraan. Yang Eropa selalu di atas, bahkan warga pribumi sendiri ingin diakui sebagai warga Eropa. Nusantara memang menjadi berkembang tetapi seharusnya bisa lebih berkembang jika Belanda lebih bijak.

Akhirnya, untuk menutup artikel ini saya akan menyitir  pernyataan Pram,
 “Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Di mana pun ada yang mulia dan jahat....Kau sudah lupa kiranya, nak. Yang kolonial selalu iblis. Tak ada kolonial yang mengindahkan kepentingan bangsamu” (Anak Semua Bangsa).

Dirgahayu Indonesia-ku yang ke 67!!

0 komentar:

Posting Komentar