Petualangan PokTunggal Beach

Kamis, 10 Januari 2013




Sepasukan marinir Amerika mendarat dengan mulusnya di pasir pantai pulau Iwojima. Mereka bersyukur amtrac, kendaraan penghubung kapal ke pantai, yang mereka tumpangi tidak dibinasakan oleh upaya pertahanan pantai kekaisaran Jepang. Mereka berpikir betapa dungunya tentara Jepang yang tidak menyerang mereka selagi masih berada di amtrac, dimana mereka tidak memiliki daya pertahanan yang memadai terhadap mitraliur, pesawat, dan senapan mesin musuh. Mendadak kebahagiaan sesaat tersebut dihentikan dalam kilasan sekejap api yang memancar dari bukit, disusul suara memekakan telinga. Marinir Amerika dihabisi laiknya penjagalan sapi akibat senapan-senapan mesin yang Jepang tanam dalam bukit beserta tank yang kehabisan bahan bakar yang sengaja Jepang posisikan di atas bukit, menunggu dengan sabar marinir Amerika masuk ke dalam jepitan bukit dan dihancurleburkan. Belakangan, hanya tubuh tergolek tak bernyawa disana-sini akibat bukit sialan yang menjadi sebab musabab fubar-nya mereka saat itu. Tidak cukup hanya itu, di belakang sistem perbukitan ini membentang gunung suribachi yang dijadikan gunung-benteng ditopang berbagai senapan mesin , howitzer, mortar, sniper dan infantri jepang yang siap mati dengan semangat bansai yang diperparah dengan gua bawah tanahnya yang dapat menyediakan logistik secara efisien. Kali ini, jenderal-jenderal Amerika dibuat pusing bukan kepalang akibat sistem pertahanan berbukit-bukit ini
 suribachi Indonesia
gunung suribachi, Iwojima Jepang

Okay, di atas adalah cerita saya mengenai kesan manakala mengunjungi daerah pantai…yang kali ini di Indonesia. Pantai yang secara khas dikelilingi bukit-bukit tinggi, yang ketika kita naik di atasnya memberikan cakrawala memadai tentang luasnya pantai yang ada ini. Saya disini bukan untuk menghabisi agresor-agresor asing yang mencoba menyerbu negara, hanya sekedar menghabisi efek samping rutinitas yang kalau seorang prajurit berisiko terbunuh fisiknya, bagi saya bisa membunuh jiwa akibat kemonotonannya.

Roda motor masih bergulir diiringi sesekali decit rem akibat jalan menikung tajam di sana-sini. Serombongan pemuda malam itu bertekad kuat menemukan pantai serupa Iwojima versi saya (hehe), di depan ada Wendi dan Septri yang berboncengan dengan mesranya, sepeda motor di belakangnya dihuni rajapliket Dani more dengan adiknya Dion, saya bersama Supri yang tidak pakai mesra, dan paling belakang ada Gecol yang memboncengkan Arik Suketi. Saya amat-amati dari kaca spion mereka suka sekali memperlambat laju sepeda motor dengan sesekali si Gecol mengerem-rem. Entah apa maksudnya :|



Badan saya sudah capek sekali, dimana saya berangkat siang hari dari Temanggung yang sejuk dan melewati jalan-jalan lebarnya, mendadak saya harus menelusuri jalan-jalan sempit penuh tikungan kabupaten Gunungkidul di malam hari dalam pencarian sebuah pantai yang masih jarang dikunjungi. Jalan seakan tiada habisnya, mengingatkan saya cerita semasa kecil ada orang yang di-sasar-kan wewe sehingga berjalan terus-terusan pada jalan tiada berujung, hiiiiii. Pikiran suudzon saya terselamatkan manakala melihat sebuah papan yang tersematkan tulisan yang dari tadi dicari-cari. Papan ini terletak sesaat setelah kendaraan kami melewati pantai indrayanti. Sebuah papan bertuliskan “Pantai Pok Tunggal”. Saking girangnya, saya pun kayang, sujud syukur,nangis darah, berpelukan dengan teman-teman (oke, ini lebay!)



Rasanya kami terlalu cepat bersyukur. Sebagai pantai yang berbukit-bukit, untuk mengakses poktunggal dari jalan raya kami harus menuruni turunan yang lumayan curam dengan sisi kanan atau terkadang sisi kirinya terdapat jurang. Pun, daerah ini baru saja diguyur hujan lebat lalu kombinasi antara batu kapur dan air hujan (fyi: jalan ini belum diaspal, hanya beralaskan batu kapur) adalah kombinasi mematikan untuk motor mengalami yang namanya tergelincir. Motor saya memiliki ban belakang yang nyaris gundul alurnya dan ini bencana. Saya belum menyadari kemungkinan-kemungkinan ini, setelah akhirnya saya tergelincir dan selangkangan saya terasa sakit sampai beberapa hari haha. Alhamdulilah, tidak nyosor ke jurang.

Akhirnya, dengan penuh perjuangan dan senam jantung, motor selamat mendarat di pantai pok tunggal yang walaupun menempuh jarak satu kilo tetapi rasanya berkilo-kilo. Pantai ini dapat dimasuki tanpa membayar tiket dan ada jasa penjagaan motor dari penduduk sekitar sepanjang malam plus penyewaan tenda, jadi kami langsung memarkirkan motor dan berlari kencang menuju bibir pantai. Nesting kami keluarkan dan saya tidak bisa lagi menahan rasa untuk menikmati kenikmatan seteguk dua teguk kopi diiringi suara deburan ombak di tengah hangatnya persahabatan. Oh iya, sebelum minum, tenda harus didirikan dulu karena kami berencana menginap di pantai malam itu juga. Datang ke pantai saat hari terang dan mandi untuk kemudian pulang sudah teramat jamak dilakukan .......dan itu membosankan, maka mencoba sesuatu yang baru memang selalu menyenangkan. 
penampakan


Akhirnya setelah kopi terminum, Indomie lumer di dalam perut dan obrolan-obrolan ngawur bin pliket di malam hari, kami beranjak ke peraduan. Saya setenda bersama teman-teman yang lain. Adapun wanita perkasa, Arik Suketi menawarkan dirinya tidur di luar tenda walaupun sudah dicegah mengingat tenda memang dipersiapkan berlebih dua biji. Gecol yang menurut redaksi Arik tidak tega (saya meragukan kata tidak tega ini) pun menemani di luar, beratapkan bintang-bintang bersinar, diiringi angin darat pantai, bersuarakan debur ombak. Oh....seakan dunia hanya milik berdua (sori kalau saya nakal, balas dendam postingan blog di sini dan di sini :p)

 Perlahan cahaya matahari menerobos kisi-kisi tenda. Dan inilah saat yang tepat untuk bangun, Sholat subuh dan kemudian menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah. Pantai poktunggal yang masih perawan menjanjikan kebeningan airnya untuk ditapaki, deretan bukit menggoda untuk didaki, hangat sinar mentari terlalu sayang tanpa dirasai. Akhirnya diputuskan untuk berjalan-jalan terlebih dahulu di pantai yang berkarang-karang ini 





setelah puas mengamati ombak, flora, fauna dan sedikit ngobrol dengan penduduk sekitar, acara selanjutnya adalah mendaki bukit-bukit yang ada di sekitar pantai. Saya pikir, bukit-bukit ini adalah khasnya pantai pok tunggal sehingga rugi rasanya kalau ke pok tunggal tanpa mendakinya apalagi untuk mendapati bukit ini harus berkorban nyawa ngglangsar pada jalan menurun (alah lebay!)







Menurut pengakuan warga sekitar, jika beruntung kita bisa melihat gerombolan kan kecil dari puncak bukit ini :DSetelah snack yang di bawa ke atas habis (terutama dihabisi oleh Danimorr) dan nafsu narsis kami terpuaskan, diputuskan untuk turun dan mandi untuk segera pulang. Sayangnya, ada beberapa manusia yang berpikiran tidak afdhol rasanya kalau ke pantai tanpa bercumbu dengan ombak-ombaknya. Inilah tampng sok tidak berdosa manusia-manusia tersebut









Akhirnya kita tiba di penghujung cerita ini sekaligus penghujung perjalanan ini. Semua personel mandi di pemandian umum yang tersedia banyak sekali di sini, lantas disuguhi jagung bakar dan kopi hitam pekat kesukaan saya oleh pemilik tempat parkir. Mungkin sebagai konsekuensi dia yang baru saja konsultasi pajak haha. Hujan pun turun seakan ingin mensinkronkan antara saat kami datang dan saat kami pulang dan dengan demikian perjalanan ini ditutup dengan distaterkannya sepedamotor menuju asalnya masing-masing. Tamat.








Dari atas, aku memandang lautan luas dan aku sedikit merasa hampa. Apa benar aku manusia yang sebagaimana selama ini? Lantas kesadaran itu pun datang, aku memandang diriku terlampau besar.





credit foto: Arik, Dani

2 komentar:

Langit mengatakan...

Balas dendam opo jal? -_-
aku cerito sing apik-apik lhooo

Sholehudin Adi Nugroho mengatakan...

untuk balas dendam, hal yang tak beralasan pun bisa menjadi alasan *tsaaaaaaaah

Posting Komentar