Sepasukan
marinir Amerika mendarat dengan mulusnya di pasir pantai
pulau Iwojima. Mereka bersyukur
amtrac,
kendaraan penghubung kapal ke pantai,
yang mereka
tumpangi tidak dibinasakan
oleh upaya pertahanan pantai kekaisaran Jepang. Mereka berpikir
betapa dungunya
tentara Jepang yang tidak menyerang mereka selagi masih
berada di amtrac, dimana mereka tidak memiliki daya pertahanan yang
memadai terhadap mitraliur, pesawat, dan senapan mesin
musuh. Mendadak kebahagiaan sesaat tersebut dihentikan dalam kilasan
sekejap
api yang memancar dari bukit, disusul suara memekakan telinga.
Marinir
Amerika dihabisi laiknya
penjagalan
sapi
akibat senapan-senapan mesin yang Jepang tanam dalam bukit beserta
tank yang kehabisan bahan bakar yang sengaja Jepang posisikan di atas
bukit, menunggu dengan sabar marinir Amerika masuk
ke dalam jepitan bukit dan dihancurleburkan. Belakangan, hanya tubuh
tergolek tak bernyawa disana-sini akibat bukit sialan yang menjadi
sebab musabab fubar-nya
mereka saat itu. Tidak cukup hanya itu, di belakang
sistem
perbukitan ini
membentang
gunung suribachi yang dijadikan gunung-benteng ditopang
berbagai senapan mesin , howitzer,
mortar, sniper dan infantri
jepang yang siap mati dengan semangat bansai
yang
diperparah dengan gua bawah tanahnya yang dapat menyediakan logistik
secara efisien. Kali ini, jenderal-jenderal Amerika dibuat
pusing
bukan kepalang akibat sistem
pertahanan berbukit-bukit ini
Okay,
di atas adalah cerita saya mengenai kesan manakala mengunjungi daerah
pantai…yang kali ini di Indonesia. Pantai yang secara
khas dikelilingi
bukit-bukit tinggi, yang ketika kita naik di atasnya
memberikan cakrawala memadai tentang luasnya pantai yang ada ini.
Saya disini bukan
untuk menghabisi agresor-agresor
asing yang mencoba menyerbu
negara,
hanya sekedar menghabisi efek samping rutinitas
yang
kalau seorang
prajurit
berisiko
terbunuh fisiknya, bagi saya bisa membunuh jiwa akibat
kemonotonannya.
Roda
motor masih bergulir diiringi sesekali decit rem akibat jalan
menikung tajam di sana-sini. Serombongan pemuda malam itu bertekad
kuat menemukan pantai serupa Iwojima versi saya (hehe), di depan ada
Wendi dan Septri yang berboncengan dengan mesranya, sepeda motor di
belakangnya dihuni rajapliket Dani more dengan adiknya Dion, saya
bersama Supri yang tidak pakai mesra, dan paling belakang ada Gecol
yang memboncengkan Arik Suketi. Saya amat-amati dari kaca spion
mereka suka sekali memperlambat laju sepeda motor dengan sesekali si
Gecol mengerem-rem. Entah apa maksudnya :|
Badan
saya sudah capek sekali, dimana saya berangkat siang hari dari
Temanggung yang sejuk dan melewati jalan-jalan lebarnya, mendadak
saya harus menelusuri jalan-jalan sempit penuh tikungan kabupaten
Gunungkidul di malam hari dalam pencarian sebuah pantai yang masih
jarang dikunjungi. Jalan seakan tiada habisnya, mengingatkan saya
cerita semasa kecil ada orang yang di-sasar-kan
wewe sehingga berjalan terus-terusan pada jalan tiada berujung,
hiiiiii. Pikiran suudzon saya terselamatkan manakala melihat sebuah
papan yang tersematkan tulisan yang dari tadi dicari-cari. Papan ini
terletak sesaat setelah kendaraan kami melewati pantai indrayanti.
Sebuah papan bertuliskan “Pantai Pok Tunggal”. Saking girangnya,
saya pun kayang, sujud syukur,nangis darah, berpelukan dengan
teman-teman (oke, ini lebay!)
Rasanya kami terlalu cepat
bersyukur. Sebagai pantai yang berbukit-bukit, untuk mengakses
poktunggal dari jalan raya kami harus menuruni turunan yang lumayan
curam dengan sisi kanan atau terkadang sisi kirinya terdapat jurang.
Pun, daerah ini baru saja diguyur hujan lebat lalu kombinasi antara
batu kapur dan air hujan (fyi: jalan ini belum diaspal, hanya
beralaskan batu kapur) adalah kombinasi mematikan untuk motor
mengalami yang namanya tergelincir. Motor saya memiliki ban belakang
yang nyaris gundul alurnya dan ini bencana. Saya belum menyadari
kemungkinan-kemungkinan ini, setelah akhirnya saya tergelincir dan
selangkangan saya terasa sakit sampai beberapa hari haha.
Alhamdulilah, tidak nyosor ke jurang.
Akhirnya, dengan penuh
perjuangan dan senam jantung, motor selamat mendarat di pantai pok
tunggal yang walaupun menempuh jarak satu kilo tetapi rasanya
berkilo-kilo. Pantai ini dapat dimasuki tanpa membayar tiket dan ada
jasa penjagaan motor dari penduduk sekitar sepanjang malam plus
penyewaan tenda, jadi kami langsung memarkirkan motor dan berlari
kencang menuju bibir pantai. Nesting kami keluarkan dan saya tidak
bisa lagi menahan rasa untuk menikmati kenikmatan seteguk dua teguk
kopi diiringi suara deburan ombak di tengah hangatnya persahabatan.
Oh iya, sebelum minum, tenda harus didirikan dulu karena kami
berencana menginap di pantai malam itu juga. Datang ke pantai saat
hari terang dan mandi untuk kemudian pulang sudah teramat jamak
dilakukan .......dan itu membosankan, maka mencoba sesuatu yang baru
memang selalu menyenangkan.
penampakan
Akhirnya setelah kopi terminum, Indomie
lumer di dalam perut dan obrolan-obrolan ngawur bin pliket di malam
hari, kami beranjak ke peraduan. Saya setenda bersama teman-teman
yang lain. Adapun wanita perkasa, Arik Suketi menawarkan dirinya
tidur di luar tenda walaupun sudah dicegah mengingat tenda memang
dipersiapkan berlebih dua biji. Gecol yang menurut redaksi Arik tidak
tega (saya meragukan kata tidak tega ini) pun menemani di luar,
beratapkan bintang-bintang bersinar, diiringi angin darat pantai,
bersuarakan debur ombak. Oh....seakan dunia hanya milik berdua (sori
kalau saya nakal, balas dendam postingan blog di sini dan di sini :p)
Perlahan
cahaya matahari menerobos kisi-kisi tenda. Dan inilah saat yang tepat
untuk bangun, Sholat subuh dan kemudian menyaksikan tanda-tanda
kebesaran Allah. Pantai poktunggal yang masih perawan menjanjikan
kebeningan airnya untuk ditapaki, deretan bukit menggoda untuk
didaki, hangat sinar mentari terlalu sayang tanpa dirasai. Akhirnya
diputuskan untuk berjalan-jalan terlebih dahulu di pantai yang
berkarang-karang ini
setelah puas mengamati ombak, flora,
fauna dan sedikit ngobrol dengan penduduk sekitar, acara selanjutnya
adalah mendaki bukit-bukit yang ada di sekitar pantai. Saya pikir,
bukit-bukit ini adalah khasnya pantai pok tunggal sehingga rugi
rasanya kalau ke pok tunggal tanpa mendakinya apalagi untuk mendapati
bukit ini harus berkorban nyawa ngglangsar pada jalan menurun (alah
lebay!)
Menurut
pengakuan warga sekitar, jika beruntung kita bisa melihat gerombolan
kan kecil dari puncak bukit ini :DSetelah snack yang
di bawa ke atas habis (terutama dihabisi oleh Danimorr) dan nafsu
narsis kami terpuaskan, diputuskan untuk turun dan mandi untuk segera
pulang. Sayangnya, ada beberapa manusia yang berpikiran tidak afdhol
rasanya kalau ke pantai tanpa bercumbu dengan ombak-ombaknya. Inilah
tampng sok tidak berdosa manusia-manusia tersebut
Akhirnya
kita tiba di penghujung cerita ini sekaligus penghujung perjalanan
ini. Semua personel mandi di pemandian umum yang tersedia banyak
sekali di sini, lantas disuguhi jagung bakar dan kopi hitam pekat
kesukaan saya oleh pemilik tempat parkir. Mungkin sebagai konsekuensi
dia yang baru saja konsultasi pajak haha. Hujan pun turun seakan
ingin mensinkronkan antara saat kami datang dan saat kami pulang dan
dengan demikian perjalanan ini ditutup dengan distaterkannya
sepedamotor menuju asalnya masing-masing. Tamat.
Dari
atas, aku memandang lautan luas dan aku sedikit merasa hampa. Apa
benar aku manusia yang sebagaimana selama ini? Lantas kesadaran itu
pun datang, aku memandang diriku terlampau besar.
credit foto: Arik, Dani
2 komentar:
Balas dendam opo jal? -_-
aku cerito sing apik-apik lhooo
untuk balas dendam, hal yang tak beralasan pun bisa menjadi alasan *tsaaaaaaaah
Posting Komentar