Pendakian Gunung Lawu 3265 mdpl, Great Adventure!

Senin, 24 Oktober 2011

Yah, akhirnya sempat nulis blog lagi setelah sekian lama vakumJ.

              Dalam edisi kali ini saya ingin menceritakan perjalanan saya yang lain. Sebenarnya, perjalanan ini sudah terjadi cukup lama. Sekitar Juni 2011-lah, tapi mau menuliskannya kok masih aras-arasen padahal niat hati sudah menggebu-gebu tapi kandas lagi gara-gara ketemu ujian, kuliah, ngaji, dan kerja sampingan. Sebenarnya yang mau saya tuliskan ini bukanlah perjalanan yang seperti biasanya. Kali ini saya menantang diri saya untuk melakukan perjalanan berupa pendakian naik gunung. Pertama terlintas dalam pikiran saya ketika diajak oleh teman seperguruan saya, mas Dani sebenarnya ngeri kalo dengar ada pendaki yang nyasar lalu ditemukan tewas. Namun Yah, memang segala sesuatu kalau tidak dicoba untuk pertama kali kita tidak akan pernah tau kan?
Gunung yang akan didaki adalah gunung Lawu. Dengan ketinggian yang agak lumayan, 3265 mdpl. Gunung ini terletak di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Status gunung ini adalah gunung api "istirahat" dan telah lama tidak aktif, terlihat dari rapatnya vegetasi serta puncaknya yang tererosi. Di lerengnya terdapat kepundan kecil yang masih mengeluarkan uap air (fumarol) dan belerang (solfatara). Gunung Lawu mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan hutan Ericaceous (Wikipedia).
Gunung Lawu memiliki tiga puncak, Puncak Hargo Dalem, Hargo Dumiling dan Hargo Dumilah. Yang terakhir ini adalah puncak tertinggi dan puncak yang akan kami tuju. Oia, sebelumnya saya akan memperkenalkan rombongan kami dulu. Mula-mula dari mas Dani yang mengajak saya naik gunung, disusul mbak Arik yang juga alumni STAN seperti saya, dan Mas Nanda, Mas Sarno, Mas Iprit, dan juga mbak Siti, mbak Vita, dan mbak Eni (Saya sebut mas dan mbak karena orang-orangnya senior semua, takut di-bully hehe). And here comes the story....
1.       Terminal Tidar Magelang (7:00)

Iki nomere kancaku XXXXXXXXX, dihubungi wae” (Ini nomer temanku, dihubungi saja).
Begitulah isi singkat sesingkat-singkatnya dari pesan singkat  bos Dani sang sesepuh ketika saya terkantuk-kantuk menunggu teman-teman yang lain di stasiun tidar Magelang. Saya mencoba menghubungi nomor ybs, eh belum sempat terkirim munculah sesosok makhluk berjilbab dari kejauhan mendekati (#eaaaaaaa). Ternyata itu adalah teman mas Dani yang dimaksud, namanya mbak Siti. Di situ akhirnya kami berkenalan dan bertemu dengan mbak-mbak yang lainnya seperti mbak Eni dan Mbak Arik. Cerita selanjutnya adalah adalah acara menunggu mas Dani yang ngaret. Setelah si pesakitan datang, berangkatlah kami ke Yogyakarta menumpang bis Jombor dengan mengeluarkan doku sebesar 8000 Rupiah saja. Lanjut pakai busway-nya Yogyakarta (3000 rupiah) dan Turun di Shelter Trans Yogyakarta. Perjalanan dilanjutkan ke Stasiun Lempuyangan. Namun, karena membawa alamat yang  ternyata alamat palsunya Ayu ting-ting, mengakibatkan tiba di Lempuyangan setelah bertanya kesana kemari membawa alamat hehe.

2.       Stasiun Lempuyangan (10:00)
Dengan tergopoh-gopoh sambil membawa tas carrier yang besarnya gak kira-kira (sampai kayak TNI), kecuali saya :p, kami berlari-lari dikejar anjing waktu yang menipis karena keberangkatan kereta adalah sekitar jam 10:30. Untunglah di stasiun sudah ada teman yang membelikan tiket Kereta Api Prameks (9000 Rupiah) terlebih dahulu yaitu mas Nanda dan mbak Vita. Tanpa ba-bi-bu lagi, perjalanan dilanjutkan menuju next destination: Stasiun Solo Balapan. Di dalamkereta Prameks yang memang padat penumpang itu saya mesti bergelantungan dulu ala Kethek-antropus Javanicus, itung-itung pemanasan. Ditengah perjalanan dengan polosnya dan innocent-nya muka saya, saya bertanya “Ini udah sampe Solo balapan pak?” (dengan bahasa krama inggil). Dia jawab “Oh belum mas”. Saya pun melanjutkan acara ngantuk saya. Tak berselang lama kemudian saya tanya kepada ibu-ibu di sebelah saya pertanyaan yang sama dengan jawaban yang sama pula. Tiba-tiba ibu-ibu disebelah saya lainnya nyeletuk “iya mas, ini udah stasiun Solo Balapan. Astaga!, untung tidak kebablasan. Kami segera turun dan menunggu di Peron Stasiun. Stasiun dimana Didi Kempot mendapatkan museuntk menciptakan lagu legendarisnya itu. Ning stasiun balapan, kuto solo seng dadi kenangan, koe karo akuuuuuu......yiiiiiiiiiiiiiha
Setelah melakukan sholat Jum’at di masjid sekitar stasiun, kami bersembilan (tambah mas Iprit dan mas Sarno di stasiun-red) mampir ke warung makan di sekitaran situ. Isi bensin dulu biar kuat jiwa raga sampai puncak. Ini poto narsis setelah makan:

3.       Terminal Tawangmangu 16:00
Sehabis makan, perjalanan dilanjutkan menuju terminal Tawangmangu via bis Solo-Tawangmangu (10.000 Rupiah). Bis ini bisa didapat satelah kita berjalan lumayan jauh juga dari stasiun dan bertanya kesana-kemari ala ayu ting-ting. Selama di bis, perlahan tapi pasti abang sopir mem-play-kan lagu-lagu zaman bapak saya masih ABGlabil. alhasil saya dan teman-teman sukses dengan gemilang tidur sepanjang perjalanan. Perjalanan yang lamanya minta ampun ini pun  berlalu tanpa terasa. Terminal Tawangmangu jam 16:00 menandai kedatangan kami.

Dari terminal tawangmangu, untuk mencapai basecamp pendakian gunung, yaitu cemoro sewu, mesti memakai colt yang dengan jasanya kita membayar 7000 rupiah saja. Perjalanan memakai colt ini juga merupakan perjalanan yang menguras jiwa raga dan mental tidak kalah dibanding kita menggunakan wahana halilintar di dunia fantasi. Melewati jalan-jalan yang menikung tajam dan naik turun secara curam, colt ini terdengar menggerung-gerung seperti meratapi ketuaannya dan seolah ingin membawa penumpang-penumpangnya untuk memperbanyak mengingat Tuhan dimanapun berada. Kondisi ini sedikit terhibur dengan pemandangan yang disajikan terhampar dengan indahnya. Ladang-ladang wortel, kubis, berbagai tanaman yang terbentang luas, deretan Villa, view khas pegunungan yang seolah tanpa ada batas adalah sensasi tersendiri pada tiap mata yang memandang. Pukul 17:00, Cemoro Sewu, base camp pendakian Lawu, menyambut kedatangan kami.
4.       Cemoro Sewu 17:00
Saya perlahan mengancingkan zipper jaket demi angin dingin yang bertiup di base camp. Terlihat angkuhnya puncak Lawu dari ketinggian yang memukau. Sekalipun itu sore menjelang maghrib, lalu lalang manusia seakan tak surut, menuju satu tujuan, satu puncak yang sama. Mengisi perut, bersembahyang, dan untuk kemudian pendakian pun dimulai. Pendakian malam ke puncak lawu.

5.       Pendakian Malam ke Hargo Dumilah (Puncak Lawu) 19:00
Malam itu suasana gunung sangat gelap mencekam. Saya coba mengarahkan cahaya senter saya ke arah puncak tidak tampak sesuatupun yang dapat ditangkap indra penglihatan. Suasana itu ditambah dingin yang sangat menusuk tulang. Kaos dua lapis, jaket super tebal, slayer, penutup kepala, celana dua lapis, kaos kaki dua lapis, sepatu, sarung tangan tidak mampu mencegah saya dari rasa kedinginan ini. Menggigil kedinginan saya dalam berdoa sebelum acara pendakian dimulai, berdoa semoga tidak ada qodar buruk yang akan menimpa kami malam ini dan seterusnya. Akhirnya acara berdoa selesai dan masing-masing anggota mengangkat beban masing-masing. Perjalanan dimulai dengan mas Sarno, iprit, dan mbak Vita di depan disusul mbak arik, mbak eni, dan mas Nanda, sementara saya, mas Dani dan mbak Siti menjadi tukang sapu(sweeper). Menyapu rombongan dari belakang.
Yang ada dalam perjalanan itu hanyalah gelap dan gelap. Dalam berjalan saya hanya berpedoman pada track bebatuan yang disusun dan mengikuti orang di depan saya, sehingga peran senter dalam hal ini adalah vital. Saking gelapnya, keesokan harinya saat turun gunung saya baru sadar ternyata jalur menuju pos 1 ini dikelilingi persawahan dan beberapa rumah-rumah. Jalur menuju Pos 1 cukup lumayan tidak susah walaupun sesekali harus berhenti melepas penat. Di perjalanan beberapa kali kami menyalib rombongan bapak-bapak. Mungkin darah muda kali ya, walau pada akhirnya pas mendekati puncak juga ngos-ngosan hehe.Akhirnya pukul 20:00 kami sampai juga di pos 1. Di sini para pendaki dapat melepas lelahnya di warung yang menyediakan berbagai macam makanan dan minuman. Hal ini tidak berlaku untuk pos-pos selanjutnya.
                Setelah sejenak melepas penat, perjalanan dilanjutkan kembali menuju pos 2. Malam yang semakin pekat, mata yang semakin mengantuk, dan semakin lelahnya badan adalah faktor-faktor yang menyebabkan orang-orang ngelantur dan berhalusinasi tidak jelas. Kalau sudah begini lebih baik dibanyakin doanya aja. Sebelum berangkat naik gunung ini, saya sempat browsing artikel-artikel yang bikin merinding bulu kuduk tentang gunung ini. Apalagi dalam situasi nyata seperti ini. Namun, itu hanya perasaan sesaat karena yang muncul justru candaan sesekali dari kami yang kembali menyegarkan pikiran dan membukakan mata yang mulai mengantuk. Kalau di sekitar track menuju pos 1 tadi dijumpai banyak sawah dan rumah, keesokan harinya saya sadar bahwa mulai pos 2 dan seterusnya di sekitar track, menganga jurang yang cukup dalam. ngeri juga kalo saya sampai terpeleset. Gimana nasib calon istri dan anak-anak saya di rumah!Hal yang menggembirakan adalah sampai saat itu belum turun hujan. Saya sudah siap sedia mantel, tetapi kalo benar turun hujan bisa menjadi kerepotan tersendiri memang. Hal lain yang perlu diwaspadai selain gelap, jurang, dan hujan adalah adanya pohon tumbang yang melintang. Baik di bawah yang bisa membuat jatuhtersandung maupun di atas yang bisa “mencium” jidat kita dengan nikmatnya. Kebetulan dalam rombongan kami yang kejedot ini orang-orang yang berada di depan rombongan sebagai tumbal peringatan orang di belakangnya J.Dengan diiringi istirahat sesekali dan candaan yang menjadi obat ngantuk saya,  akhirnya pos dua dicapai di jam 21:30.
Istirahat dan perjalanan dimulai kembali menuju pos 3. Rencana kami akan nge-camp di pos 3. Napas mulai memburu-buru tidak jelas, degup jantung semakin kencang, dan suhu yang semakin naudzubillah menjadi suatu kenikmatan tersendiri. Dan, tentu saja semakin tinggi bagian gunung yang kami daki, jurang yang menganga akan semakin dan semakin dalam. Sebagaimana peribahasa “orang Optimis melihat donatnya, orang pesimis melihat lubangnya”,daripada membayangkan ke bawah dan jurang, saya mencoba melihat ke atas dan subhanAllah, perasaan bahwa saya begitu dekat dengan langit dan bintang-bintang itu tidak bisa tergambar dengan kata-kata. Selalu ada sensasi tersendiri pada hal-hal seperti ini, apalagi langit malam saat itu begitu bersih. Apalagi (pula) saya terbiasa tinggal di kawasan bintaro yang sudah akut polusi cahayanya.
 Jalanan yang ada bukannya semakin mudah, tetapi semakin curam, sempit, dan batu-batu yang ada semakin tak tertata dengan rapi sehingga kehati-hatian semakin diperlukan. Ada suatu ketika melewati suatu tanjakan saya harus merangkak saking curamnya. Akhirnya, kehati-hatian pulalah yang mengantarkan kami sampai di pos 3. Jam menunjukkan pukul 22:30. Saatnya tidur! Batin saya yang ternyata bertolak belakang dengan kenyataan.
Pos 3 sebagai rencana nge-camp dibatalkan karena penuhnya pendaki lain yang sudah nge-camp disitu. Akhirnya diputuskanlah untuk nge-camp di sendang. Jalan lagi dengan sisa-sisa tenaga. Jalanan makin curam, bahkan saking curamnya sebelum mencapai sendang, tanjakan dibuat zig-zag dan di pinggirnya di pasang pagar besi sebagai pengaman. Karena fisik sudah terkuras tentu saja semakin banyak sesi istirahat yang diadakan. Di atas saya lihat langit yang begitu dekatnya, di bawah saya tengok pemandangan indahnya kota Tawangmangu di malam hari. Perasaan “di atas sesuatu” itu memang selalu menyenangkan. Jalanan semakin menanjak tiada habisnya saja bahkan sampai tengah malam kaki saya masih melayani tuannya dengan setia tidak rewel sebagaimana Vespa saya dulu di rumah. Beruntung sebelum mencapai sendang, ditemukan tempat datar di sisi kanan tanjakan. Dum ditegakkan. setelah selesai, api dinyalakan dan bikin mie rebus + kopi untuk menghangatkan badan akibat suhu yang sungguh-sungguh dingin.
Akhirnya, setelah ngobrol tidak jelas sebentar masing-masing memakai sleeping bag-nya dan beranjak ke peraduannya, bersiap untuk summit attack keesokan harinya.
***
Pagi menjelang dan saya buka mata ini. Ada sedikit rasa enggan untuk beranjak. Akibat kelelahan semalam tentu saja dan rasa dingin yang perlahan menelusup di sekujur tubuh. Lantas, teringat bahwa saya harus menjalankan sholat subuh memaksa saya bangkit dan melakukan tayamum untuk kemudian sholat. Selesai sholat kami melakukan packing sebentar beberapa barang yang akan di bawa ke puncak. Summit attack pun dimulai. Berbeda dengan sitasi semalam dimana saya seperti buta dengan kondisi sekitar akibat pekatnya malam, di pagi ini saya cukup bisa melihat kondisi sekitar. Jalanan yang curam dan semakin curam tetapi terhibur oleh pemandangan indahnya lautan awan, seolah saya berada di negeri para dewa-dewi Olympus. Mendadak saya teringat anime One Piece dengan negeri awannya hehe. Banyaknya tumbuhan Edelwiss di kanan kiri jalan, jelasnya jurang yang menganga di seberang rute, aroma belerang yang semakin menyengat, napas yang semakin memburu karena semakin tipisnya oksigen dan degap jantung saya yang berdetak di atas normal  menandai pagi yang indah itu. Namun, untuk mengejar sunrise saya harus terburu-buru dan tidak boleh berlama-lama menikmati suasana ini. Walau capek mendera, kaki harus tetap tergerak. Akhirnya, puncak lawu, Hargo Dumilah, dicapai pukul 6:30. Akhirnya, kami menjejakan kaki di atas bumi 3265 mdpl.




0 komentar:

Posting Komentar